Langsung ke konten utama

Api Kecil yang bernama HOAX


 
credit by google

Tanpa di sadari saat ini masyarakat kita mengalami krisis kepercayaan, dimana salah satu penyebabnya adalah banyaknya berita hoax yang beredar di masyarakat. Berita bohong, ujaran kebenciaan pada kelompok lain terus mewarnai  masyarakat kita saat ini. Perbedaan kecilpun bisa menjadi seperti sepercik api yang dapat menghanguskan sebuah gedung.

Apa toh penyebab tumbuh suburnya berita hoax di masyarakat kita?
Jawabannya adalah ketidakcermataan masyarakat dalam memilah berita yang di peroleh, secara tidak langsung viralnya sebuah hoax juga karena masyarakat yang hanya membaca judul lalu klik bagikan.
Sesuai dengan tema kali ini, apa ada kaitan antara hoax dan kesehatan mental?
Hoax merupakan berita tidak benar, dimana hoax merupakan aliran informasi yang bersifat massif, seseorang hanya mengandalkan gadget dan kuota saat itupun juga dapat mengakses informasi. Namun derasnya informasi tidak di sertai dengan pembelajaran mengenai proses memilah sebuah berita.

Awal mulanya di picu dari tekanan pilihan politik yang berbeda, lalu merambat pada ujaran kebenciaan atas kelompok tertentu. Bila meninjau dari masalah ini dapat ditarik benang merah pada permasalahan Persepsi yang mengarah pada prasangka.
Menurut Robbins (2003) Persepsi merupakan proses penafsiran atas kesan-kesan yang diterima oleh individu, kesan tersebut akan di olah menjadi sebuah makna. Persepsi dapat dikatakan sebagai proses kognitif dalam memahami informasi tentang lingkungan, dimana proses tersebut dapat berupa proses penglihatan, pendengaran, penghayatan, perasaan dan lainnya. Proses persepsi selalu berkaitan dengan proses interpretasi diri terahdap sebuah informasi, dimana interpretasi ini dipengaruhi oleh factor pengalaman, motivasi dan kepribadian individu. Saat ini masyarakat kita cenderung memiliki penilaian negative ataupun positif terhadap situasi lingkungan yang terjadi.

Derasnya informasi yang beredar di masyarakat memberikan dampak terhadap kesehatan mental, saat ini hanya dengan membaca sebuah judul berita maka seseorang dengan mudah dapat emosi, meluapkan emosi dengan kata-kata yang tidak pantas atau bahkan dapat menimbulkan perkelahian. Istilah sumbu pendekpun menjadi familiar di telinga kita, perkelahian di media sosial menjadi hal yang wajar di temui.

Berdasarkan pengamatan saya, terbentuk tiga kubu pengguna media sosial, kubu pertama merupakan kubu yang cenderung gampang tersulut emosinya dengan berita yang beredar, lalu memilih untuk menyebarkan, kubu kedua pengguna media sosial yang sebenarnya juga membaca berita yang beredar tapi tidak menganggap penting untuk membaginya, dan kubu terakhir adalah kubu yang tidak membaca berita yang beredar di media sosial.
Satu kasus yang beberapa hari ini viral tentang berat badan seorang wanita yang katanya ideal kalo 55kg, lalu respon dari berbagai masyarakatpun beragam ada yang setuju bahkan ada yang menolak. Kasus ini contoh dari persepsi sosial, dimana masyarakat memiliki penilaian positif maupun negatif.

Berita teroris yang yang dikaitkan dengan agama tertentu
Tanpa di sadari, saat ini ketika melihat sosok laki-laki memakai baju koko, celana cingkrang atau bersarung, secara tidak langsung muncul pikiran macam-macam, jangan-jangan dibalik bajunya ada bom, jangan- jangan di tasnya ada bom. Melihat sosok perempuan memakai jilbab mengenakan tas rangsel muncul pikiran jangan-jangan dia membawa bom.  Pikiran-pikiran itu merupakan bentuk dari prasangka. Prasangka (prejudice)  adalah sikap yang cenderung negatif terhadap anggota kelompok tertentu. Menurut taylor (2012) prasangka sosial merupakan sebuah evaluasi negative terhadap kelompok atau seseorang berdasarkan keanggotannya.

Berbagai macam berita yang beredar di masyarakat ememberikan dampak munculnya prasangka di masyarakat. pemberitaan dan postingan yang terus menerus mengenai kejadian tersebut secara tidak langsung turut berperan menyuburkan prasangka. Efek pemberitaan mengenai terori yang dikaitkan dengan agama tertentu memberikan efek kecemasan dan ketakutan bagi masyarakat.
Saat menerima berita, tanpa disadari kita menyederhanakan lingkungan sosial dengan membuat persamaan karakter dengan kelompok tertentu, misalnya berita mengenai sosok A yang menjadi terduga teroris, maka saat itu pemikiran masyarakat di giring untuk masuk ke kelompok tersebut, lalu terjadinya persepsi ingroup dan outgroup. Contoh lain pemberitaan mengenai calon pemimpin daerah yang identik dengan kelompok tertentu, maka masyarakat akan berpikir calon pemimpin itu mendukung satu kelompok saja. Persepsi ini mulai membangkitkan prasangka sosial terhadap orang-orang yang berada di luar kelompoknya (Baron dan Byrne,2012).

fenomena inilah yang terjadi di beberapa kelompok masyarakat kita. Prasangka sosial yang tidak segera diredakan akan memicu perbandingan sosial yang fokus pada perbedaan kelompok. Tak heran bila sekarang ujaran kebencian terhadap individu maupun kelompok tertentu sangat mudah ditemukan. Kelompok ingroup cenderung memandang rekan-rekannya lebih baik, lebih menyenangkan, dan lebih positif dibandingkan kelompok di luar mereka. Hal ini sesuai dengan salah satu sumber terjadinya prasangka menurut Baron dan Byrne (2012) yaitu faktor efek “kita” versus “mereka”. Selain itu faktor lain terjadinya prasangka sosial adalah pengalaman belajar di masalalu dimana kelompok sekarang akan mendapatkan label dari perilaku kelompoknya di waktu lalu, dan yang ketiga adalah sumber kognitif dari prasangka.

Berita hoax, info provokatif, dan ujaran kebencian ibarat api kecil yang bila terjadi terus menerus dapat menghanguskan sebuah bangunan. Jika terus dibiarkan, masyarakat akan hidup dalam prasangka sosial, menumbuhkembangkan streotipe kelompok, dan tentu saja rentan terpapar masalah mental. Sehat mental merupakan sebuah keseimbangan antara kesehatan fisik, emosional, sosial, dan spiritual. Rasa curiga tanpa alasan terhadap kelompok tertentu adalah indikasi masalah mental yang cukup serius. Prasangka ini tumbuh subur karena kebiasaan masyarakat yang dengan mudahnya memviralkan sesuatu.

Semua orang dapat menjadi pewarta hanya dengan bermodalkan gadget dan kuota, sesuatu yang patut di ingat saat menggunakan media sosial maka saat itupula kita meninggalkan rekam jejak digital, bijaklah menggunakan media sosial. 
credit by google


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review The Alpha Girls Guide

 The Alpha Girls Guide Buku yang ditulis oleh om piring @hmanampiring . Diterbitkan oleh @gagasmedia (sudah 14 kali cetak)  Om piring menulis buku ini sebagai respon atas pertanyaan "cewek itu harus berpendidikan tinggi nggak sih? Ujung-ujungnya di dapur juga, kasih alasan kuat dong kenapa cewek harus berpendidikan tinggi? "  Pertanyaan pematik ini, pertanyaan yang komplek dan sering banget muncul, nah im piring menjawab pertanyaan ini dengan elegan berdasarkan pengamatan dan juga riset.  Buku ini terdiri dari 9 bagian yang di awali dengan bagian apa itu alpha female hingga your alpha female.  Saya tertarik beberapa kalimat dalam buku ini  1. Status alpha adalah status di dalam sebuah kelompok, artinya bergantung pada pengakuan anggota kelompok lain (tidak melabeli diri sendiri)  2. Miss independent belum tentu alpha female, tapi alpha female sudah pasti miss independent (ada bbrp prinsip penting dlm diri alpha female)  3. Alpha girls melihat pend...

Validasi rasa

 Rasanya masih sama ya..  ... Bingung dan Gak tahu harus apa? Respon pertama "Tuhan sedang bercanda lagi" Tapi, lebih dari itu... "Tuhan tidak sedang bercanda, karena ini seserius itu" Pernahkah membayangkan berada dalam satu tim bersama orang yang menginginkan posisimu, menginginkan jadi penggantimu bahkan menginginkan kamu mati?  Yups, saya berada dalam posisi itu,... Setelah 3 tahun berusaha bangkit, berusaha pulih dan masih proses pendampingan mental maupun spiritual hanya beberapa detik semua seakan memaksa menyeretku kembali pada masa gelap.. Saya tertawa kencang banget, kayak kok lucu siy.... Orang ini menghilang setelah membuat huru hara dan Tuhan dengan entengnya memberikan satu momen kami harus bersama hahahhahah... Kayak, begitu banyak kemungkinan yang ada, tapi kok kemungkinan ini yang tercipta... kenapa probabilitasnya besar banget hahahha.. Akhirnya pecah tangisku, setelah saya tidak tahu harus merespon bagaimana... masih jelas mengingat dengan detail ...

Stress? Belanja aja... hmm

  "Aku kalau stress biasanya belanja"...  "Aku Galau, ya buka aplikasi oranye atau aplikasi item, Checkout di keranjang" "Hidup itu antara kerja dan checkout" Bukan kalimat asing kan,.. Hmm.. saya pun pernah mengalami ini. Ingat banget, waktu itu galau malah keluar kost, ke toko buku dan ambil-ambil buku pas bayar kaget donk hampir setengah juta hanya untuk konsumtif belanja menghilangkan galau.. Ya siy, galau hilang saat ambil-ambil barang eh tapi galau datang lagi saat pembayaran. Itu pengalaman pribadi... sekarang kalau galau larinya siy ke stok bahan makanan di kulkas, masak-masak.  Lain lagi cerita salah seorang kawan "ca, aku putus lagi, dan kamu tahu aku ke toko kosmetik beli make up banyak banget, pokoknya aku harus tampil lebih cantik" Nah... fenomena konsumtif saat stres ini dinamakan  Doom Spending. Doom spending adalah kebiasaan menghabiskan uang secara impulsif sebagai respons terhadap kecemasan, stres, atau ketidakpastian akan mas...